Surat untuk Rose


Hujan sedari tadi tak jua kunjung berhenti. Tetesannya membasahi jalanan, melelehkan salju yang menutupi trotoar semenjak seminggu yang lalu. Hujan pertama di akhir musim dingin kali ini, menandai berakhirnya winter yang cukup membuatku beku. Dingin tahun ini hampir berlalu, namun tidak dengan dirimu yang tetap saja begitu. Sempat kuharapkan datangnya musim semi kan menghangatkan hatimu, hati kita, setelah sekian lama tak jua berada dalam titik temu. Hujan menemaniku, menuliskan curahan hati yang kuharap kan membuatmu mengerti. Kupandangi jendela, menembus awan gelap sana, dari apartemenku lantai dua puluh lima. Puluhan orang berlalu lalang di seberang jalan, hiruk pikuk kota metropolitan yang selalu membuatku termenung dalam angan. Aku hanya bisa merasakan sepinya batin, kosongnya harapan, dan kelamnya asa.
Rose, sore ini begitu indah. Tidakkah kau ingin menghabiskan waktu denganku. Berbincang di kedai kopi tempat kita biasa berbagi. Membunuh waktu bersama, bercengkrama tentang hidup, menertawakan kebodohan dan kesalahan kita, berbagi tangis saat kau tak mampu menahannya. Biasanya kuberikan kau sebatang coklat kesukaanmu untuk membuatmu tersenyum, coklat Eropa yang hanya ada di gerai sebrang Ashland Street seberang tak jauh dari tempat tinggalku berada.
Rose, aku tak pernah mengerti, mengapa engkau menjadi begini. Bertahun lamanya telah kita jalani bersama, dalam suka duka, sedih dan merana. Engkau adalah bunga dan aku tangkainya yang menjagamu erat, memberimu kekuatan hingga kau mekar. Jika engkau api, maka aku adalah asapnya, tanpamu aku takkan ada. Kita sahabat tak terpisahkan, sedih dan suka kita lalui bersama, senja tak pernah berakhir tanpa kita ada di dalamnya. Rose, sudah semenjak lama aku simpan perasaanku, jauh berada di dalam kalbuku, menyelinap tanpa pernah berani kuungkapkan. Maafkan aku Rose, aku berada dalam ketakutanku untuk membuatmu tau tentang bagaimana perasaanku pada dirimu. Aku tak mau persahabatan kita kan menjadi kaku karena kelakuanku, mencintai teman terbaikku. Kubiarkan saja ia membeku, kutahan ia agar tak menyelinap dan menghantui pikiranku. Aku takut, malu, dan menyerahkan semua pada waktu.
            Aku ingat benar ketika kau ceritakan tentang pria itu, seseorang yang membuat hatimu luluh, membuatmu tersenyum sepanjang hari, berbunga-bunga dan itu pun membuatku bahagia. Tidaklah yang kau lihat itu adalah senyatanya diriku. Jauh di dalam sana aku memendam cemburu, sakit yang perlahan mengiris bak sembilu. Tak mengapalah bagiku begitu, kebahagiaanmu adalah yang utama buatku. Meskipun menjalani rasa itu tak pernah mudah dan serasa hendak membunuhku. Wajarlah engkau tak pernah menemukanku terlihat merasa cemburu.
            Waktu demi waktu berlalu, aku tak sanggup lagi menahan sakitku. Perlahan kucoba melupakan rasa itu, tanpa pernah kau tahu, aku mencoba mencari penggantimu. Seseorang yang mirip denganmu, sebaik dirimu, dan kan membalas perasaanku. Ah, maafkan aku, aku tak pernah tahu bahwa engkau akan membalas perasaanku atau tidak karena tak pernah terpikirkan untuk membuatmu tahu. Rose, akhirnya kutemukannya, seorang gadis yang sangat baik dan bersahaja. Dia pun cantik pun sebaik dirimu. Maafkan aku yang tak pernah bercerita sebelumnya, aku malu. Ah, mungkin suatu saat pun aku kan memberimu tahu.
            Sebulan menjelang kelulusan kita, akhirnya kuberi tahu engkau segalanya. Hingga akhirnya aku beranikan bercerita tentang bagaimana perasaanku kepadamu sebelumnya. Aku hanya ingin membuatku lega, dan ini tak kan membuatku terluka lagi karena rasa itu kepadamu kini tak lagi sama. Maafkan aku, tak pernah menyangka kan mendapatkan reaksi berbeda darimu. Aku sempat mengira engkau kan memberikan ucapan selamat dan turut berbahagia dengan kabar itu. Aku salah, lagi lagi salah. Rose, sungguh maafkan aku, aku benar-benar tak tahu jika ternyata begitu. Aku sedih melihatmu perlahan menitikkan air mata disaat ku berapi-api bercerita tentang seseorang yang kutemukan jauh disana setelah berhasil menghilangkan perasaanku padamu. Kau usap air mata dan mengucapkan lirih dari bibirmu yang kelu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita kepadaku dari dulu? Aku pun memiliki perasaan yang sama denganmu”, suaramu parau, air mata kembali menetes perlahan di kedua pipimu.
Aku terkejut dan membatu. Darahku membeku dan jantung terasa berhenti berdetak saat itu. Entahlah tak bisalah perasaanku saat itu terwakilkan dalam kata-kata. Kemudian kau ceritakan yang sesungguhnya terjadi selama ini kepadaku. Pria yang selama ini kau kagumi dan selalu membuatmu bersemangat menceritakan kepadaku ternyata tak pernah ada. Engkau sengaja mengarang cerita, berusaha agar membuatku merasa cemburu padamu. Engkau pun sesungguhnya selalu merasa sedih dan selalu ingin tahu mengapa aku tak pernah menunjukkan rasa cemburu itu. Maafkan aku Rose, aku terlalu pemalu, terlalu bodoh untuk berani berkata yang sesungguhnya, pun tak peka dengan dirimu selama ini.
Rose, aku pun merasa sangat sedih mengapa semua berakhir seperti ini. Engkau meninggalkanku begitu saja di sore itu, hanya sapu tangan ini yang tertinggal di bangku kafe itu, sore dimana kita terakhir bertemu dan berbincang masalah itu. Rose, maafkan aku tak bisa kembali ke perasaanku yang lalu. Dia telah menjadi bagian dari hatiku, aku tak mau menyakitinya hanya demi membuatku bahagia mendapatkan cinta lama. Rose, tidakkah kau ingin menemuiku kembali? Setidaknya balaslah pesan yang kukirim kepadamu apabila engkau tak mau menerima panggilan telfon dariku. Rose, hari ini hari terakhirku di kota ini. Besok pagi-pagi sekali aku kan terbang menjelajah separuh bumi, kembali ke kampung halamanku. Rose, kusampaikan surat ini pun kepadamu sekaligus sebagai pemberi kabar bahagiaku kepadamu, aku harap engkau memahami perasaanku. Rose, bulan depan kami kan mengucapkan janji tuk hidup bersama selamanya. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat kepadaku? Rose, setidaknya aku harap engkau berkenan membalas surat ini kelak. Aku kan selalu mengingatmu, kota ini, dan semua kebahagiaan yang pernah kita miliki bersama, sebagai sahabat.

Sahabatmu,

    -Pai-
Chicago, February 26, 2015

            

7 comments:

  1. Almost impossible to believe this story is real :)

    ReplyDelete
  2. Lalu bagaimana rose skrg? Aku penasaran!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rose sekarang? ditunggu ya kabar cerita Rose berikutnya :)

      Delete
  3. Halo, kak. Salam kenal. Saya ketemu link blog kakak dari short letter PRESTASI.
    Gak nyangka, jago merangkai kata juga toh. Surat buat Rose keren :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Dara,

      Iya, hobi menulis dikit kok.
      Thanks for visiting this blog ya :)

      Delete
  4. never think in mind that Chicago may leave a quite similar story to us. Maybe not the setting, yet the plot does reflect/happen to anyone who exposed themselves to vulnerability. Teruslah menulis dan aku harap engkau menemukan kebahagiaanmu dan begitu juga Rose :)

    ReplyDelete

Powered by Blogger.